Selasa, 19 Agustus 2008

Tuntunan Islam Tentang Hemat Air
Kontribusi dari M.A. Fattah Santoso

Rabu, 30 Juli 2008
Islam terkait sekali dengan air, karena setiap orang Islam yang mau beribadah atau melaksanakan hubungan vertikal
dengan Tuhannya, melalui shalat, dia berurusan dengan air terlebih dahulu untuk digunakan dalam berwudlu. Ketika ia
mempelajari Islam, maka biasanya ia akan mengkaji Fikih. Bab pertama yang akan dipelajarinya lazimnya adalah
masalah thaharah (bersuci) yang sangat terkait dengan air.
Islam terkait sekali dengan air, karena setiap orang Islam yang mau beribadah atau melaksanakan hubungan vertikal
dengan Tuhannya, melalui shalat, dia berurusan dengan air terlebih dahulu untuk digunakan dalam berwudlu. Ketika ia
mempelajari Islam, maka biasanya ia akan mengkaji Fikih. Bab pertama yang akan dipelajarinya lazimnya adalah
masalah thaharah (bersuci) yang sangat terkait dengan air.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia ternyata sangat membutuhkan air, baik untuk urusan domestik (rumah tangga,
seperti minum, mandi dan cuci) dan irigasi ketika manusia masih di era agraris maupun untuk urusan industri ketika
manusia memasuki era industri. Bila ada demand (kebutuhan), maka harus ada supply (penyediaan). Ketersediaan air
berasal dari air permukaan (sungai dan danau), air dalam tanah dan mata air, yang dari tahun ke tahun cenderung
berkurang akibat kerusakan lingkungan. Sementara itu, kebutuhan akan air dari waktu ke waktu semakin meningkat
akibat peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan industri. Bila dua kecenderungan yang bertolak belakang ini
dibiarkan, akan muncul masalah berupa kesenjangan antara ketersediaan air dan kebutuhan akan air yang sekarang
mulai dirasakan. Kajian dimulai dari bagaimana al-Quran, sebagai sumber ajaran Islam, memberikan apresiasi
terhadap air. Untuk memperoleh pemecahan yang tepat, perlu juga dikaji bagaimana al-Quran menjelaskan tujuan
(sekaligus fungsi) manusia diciptakan Tuhan, karena siapa tahu ada yang perlu direvisi dari pola hubungan antara
manusia dan alam yang mewarnai era industri. Setelah itu, perlu diketahui juga—walau tidak secara
rinci—perilaku pemeluk Islam yang terkait dengan penggunaan air dan menjaga ketersediaan air. Adakah
kesenjangan antara perilaku mereka dan informasi/ajaran al-Quran tentang air? Bila ada, faktor-faktor apa kira-kira
penyebabnya? Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab, dapat dikembangkan kebijakan-kebijakan publik, sehingga
efesiensi/hemat dalam penggunaan air tidak menjadi tanggung jawab individu semata, tetapi juga menjadi tanggung
jawab kolektif, termasuk pengambil kebijakan publik. Apresiasi Islam terhadap Air Islam, melalui al-Quran, memberi
penegasan bahwa air tidak semata merupakan kebutuhan manusia, untuk ibadah wudlu (Q.S. al-Mâidah [5]:6) dan
diminum (Q.S. al-Baqarah [2]:60; al-Hijr [15]:22; al-Nahl [16]:10; dan al-Wâqi`ah [56]:68-69), namun juga kebutuhan
tumbuhan dan hewan (Q.S. al-Baqarah [2]:22; al-Nahl [16]:10-11; Thaha [20]:53; al-Mu’minûn [23]:19; dan al-
Naba’ [78]:14-16). Lebih dari itu, air ternyata menjadi salah satu unsur penciptaan makhluk hidup (Q.S. al-
Anbiyâ’ [21]:30), termasuk hewan (Q.S. al-Nûr [24]:45) dan manusia (Q.S. al-Furqân [25]:54}. Ditegaskan juga
bahwa tanah yang tandus dapat menjadi subur melalui air (Q.S. al-Baqarah [2]:164; al-Hajj [22]:5; dan al-Rûm [30]:24).
Lebih lanjut al-Quran menjelaskan ketersediaan air di bumi ini melalui air permukaan (dengan banyak penggunaan kata
air hujan pada ayat-ayat di atas), air dalam tanah dan mata air (Q.S. al-Zumar [39]:21; dan al-Qamar [54]:12). Melalui
penafsiran terhadap Q.S. al-Mu’minûn [23]:18: “… dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa
menghilangkannya(air),” di mana kata ‘Kami’—demi menjaga keesaan-Nya—difahami
‘Allah dengan melibatkan partisipasi makhluk-Nya’, manusia dapat menjadi penyebab menipisnya
ketersediaan air. Sementara itu, melalui penafsiran terhadap Q.S. al-Wâqi`ah [56]:70: “Kalau Kami kehendaki
niscaya Kami jadikan dia (air yang diminum manusia) asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?” di mana
kata ‘Kami’ difahami seperti pada Q.S. al-Mu’minûn [23]:18, manusia dapat menjadi penyebab
menurunnya kualitas air. Akhirnya, melalui penggalan terakhir Q.S. al-Wâqi`ah [56]:70, tersirat dari kata
‘bersyukur’ tanggung jawab manusia untuk menjaga kualitas air (dan juga ketersediaannya). Mengapa
manusia memiliki tanggung jawab demikian? Penjelasan berikut akan menjawab pertanyaan ini melalui penggambaran
al-Quran tentang tujuan/fungsi penciptaan manusia. Manusia diciptakan Tuhan dengan tujuan mengemban dua tugas
sekaligus yang saling melengkapi. Pertama-tama, manusia dipandang sebagai khalifah (Q.S. al-Baqarah [2]:30; dan Hûd
[11]:61), tetapi pada saat yang sama manusia juga adalah hamba (Q.S. al-Dzâriyât [51]:56). Sebagai khalifah, manusia
wajib aktif menjaga harmoni alam dan menyebarkan rahmat ke dalamnya, sebagai konsekuensi dari manusia menjadi
pusat alam. Walau pusat, manusia tidak ditempatkan di atas alam dan menganggapnya sebagai ‘musuh yang
harus ditaklukkan’—sebuah pandangan yang jelas berbeda dari pandangan yang berkembang di Barat.
Konsekuensi dari tauhid, alam dan manusia merupakan kesatuan, berkedudukan setara. Tetapi sebagai hamba,
manusia harus pasif, dalam pengertian tunduk kepada Tuhan, dan menerima rahmat yang mengalir padanya. Sama
halnya dengan Tuhan yang menghidupkan dan merawat alam, manusia harus merawat alam sekelilingnya. Itulah wujud
ketundukkannya kepada Tuhan. Ia tidak dapat mengabaikannya, kecuali dengan mengkhianati kepercayaan yang
diberikan kepadanya. Tujuan penciptaan manusia dalam Islam, seperti sudah dijelaskan, membawa konsekuensi pada
pola hubungan antara manusia dan alam yang setara di mana manusia menjaga harmoni alam. Pola ini jelas sangat
berbeda dan karenanya dapat merevisi pola hubungan antara manusia dan alam yang selama ini dikembangkan
masyarakat industri, yaitu absolutisme manusia—pandangan yang datang dari humanisme dan rasionalisme
Barat abad ke-17. Dalam pola absolutisme ini, manusia menguasai alam, merusak hutan. Bila hutan sudah dirusak,
Muhammadiyah Online
http://www.muhammadiyah.or.id _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 19 August, 2008, 16:17
bagaimana ketersediaan air akan terjaga? Dunia Islam dan Kerusakan Lingkungan Meskipun secara ajaran jelas
apresiasi Islam terhadap air (dan alam), adakah pada tingkat operasional dunia Islam lebih berhasil dalam menghadapi
fenomena krisis air (dan lingkungan)? Ternyata dunia Islam dan kawasan lain non-Islam yang non-Barat mendapatkan
kenyataan yang sama: tidak lebih baik dalam menghadapi krisis air (dan lingkungan). Mesir dan Pakistan (juga Malaysia
dan Indonesia) yang Islam, Thailand yang Budha, India yang Hindu, bahkan Jepang yang Sinto-Budha dengan
apresiasinya yang mengagumkan terhadap alam, menderita krisis lingkungan dalam tingkat keparahan yang hampir
sama. Apakah kira-kira penyebabnya? Penyebab eksternal utama adalah dominasi global Barat, baik secara ekonomi
maupun politik. Bermula dari kolonialisme yang mendominasinya, dunia Islam berada dalam posisi menerima ekonomi
(termasuk industri), hukum dan teknologi dari Barat, tidak ada ruang untuk melakukan inovasi, tidak ada pilihan lain.
Padahal dibalik apa yang diterima itu terkandung pandangan tentang pola hubungan antara manusia dan alam yang
menempatkan manusia di atas alam, sehingga menganggapnya sebagai objek yang harus ditaklukkan. Sebagai
konsekuensinya, dunia Islam tidak lagi sepenuhnya Islam karena telah kehilangan kearifan Islaminya. Secara internal
dunia Islam yang di masa klasik mampu mem-blow up satu ayat tentang wudlu (Q.S. al-Maidah [5]:6) menjadi
pembahasan yang serius dan mendominasi buku-buku standar mengenai agama, di masa kontemporernya tidak mampu
mem-blow up ayat-ayat lain yang berkaitan dengan lingkungan, kosmologi dan alam (termasuk air)—yang
ternyata jauh lebih banyak jumlahnya—sebagai kearifan Islami tentang lingkungan dan alam, dan secara lebih
khusus kearifan Islami tentang air. Penyebab internal lainnya adalah konsekuensi lain—lebih bersifat sosioantropologis&
mdash;dari dominasi ekonomi Barat terhadap dunia Islam, yaitu urbanisasi dengan dislokasi budayanya
yang makin menyulitkan aplikasi nilai-nilai Islam dan makin menyuburkan aplikasi nilai-nilai Barat, seperti kecintaan dan
keserakahan terhadap materi, dan penundukan manusia atas alam. Satu hal yang tidak boleh diabaikan, sebagai
penyebab internal lain krisis lingkungan di dunia Islam, adalah pertumbuhan penduduk yang berimplikasi pada
peningkatan kebutuhan lahan dan pekerjaan. Ekses dari peningkatan kebutuhan lahan adalah berubahnya lahan terbuka
menjadi bangunan gedung, sementara ekses dari peningkatan kebutuhan pekerjaan adalah penggundulan hutan. Kedua
ekses itu, bagaimanapun, akan sangat berpengaruh pada ketersediaan cadangan air. Dari penelusuran berbagai faktor
penyebab ketidakberdayaan dunia Islam (juga negara-negara berkembang lainnya) menghadapi krisis lingkungan
(termasuk krisis air), dapatlah dibuat agenda program pemberdayaan berikut ini. Program Pemberdayaan Agenda
program pemberdayaan yang dapat diberi nama ‘gerakan hemat air’ nampaknya tidak dapat lagi didekati
secara parsial (bagian per bagian), seperti melalui ajakan kepada individu-individu masyarakat untuk berhemat air, tetapi
perlu didekati secara lebih holistik (menyeluruh terpadu) dengan berbagai faktor yang terkait. Agenda pertama,
memformulasikan kearifan Islami tentang alam (termasuk air), terkait dengan fungsi manusia sebagai khalifah dan
hamba Allah, dalam bahasa kontemporer sebagai bagian dari tradisi intelektual Islam. Adakah manfaat dari ajakan atau
persuasi berhemat air bila tidak disertai perubahan paradigma tentang pola hubungan antara manusia dan alam,
sebagai produk dari pemahaman terhadap kearifan Islami tentang alam? Agenda kedua, sosialisasi kearifan Islami
tentang alam, baik melalui ajakan atau persuasi kepada masyarakat, khususnya umat Islam, dan kalangan industri,
pengguna banyak air (untuk diaplikasikan) maupun melalui dialog dengan pemeluk agama lain (untuk saling memahami
dan pengayaan) dan dialog dengan pengambil kebijakan publik (untuk diterapkan dalam undang-undang atau peraturanperaturan).
Bila agenda pertama dan kedua lebih bersifat kultural, maka agenda ketiga lebih bersifat struktural,
melibatkan elite politik, baik pengambil kebijakan maupun pelaksananya. Gerakan hemat air, dengan demikian, tidak
saja menjadi tanggung jawab individu-individu dan asosiasi-asosiasi dalam masyarakat, tetapi juga menjadi tanggung
jawab pemerintah. Gerakan hemat air memerlukan dukungan undang-undang atau peraturan yang mengatur, misalnya
tata guna lahan, dan tata guna air. Masihkah di masa datang kita melihat kawasan industri dibangun di lahan pertanian
produktif yang nota-bene berfungsi menyerap air? Masihkah di masa datang pengembangan properti, termasuk rumah
tinggal, dilakukan secara horisontal yang umumnya mengurangi lahan penyerap air? Apakah masih belum waktunya
pengembangan properti secara vertikal, termasuk rumah susun, dengan menyiapkan perubahan dan adaptasi kultural
yang bakal terjadi? Masihkah dibiarkan bebas segala bentuk industri memanfaatkan air tanah—yang supply-nya
bisa jadi lebih besar dari demand-nya, sehingga terjadi kemubadziran—tanpa kompensasi yang berguna bagi
gerakan hemat air? Apakah perencanaan kota di masa datang akan terus mengabaikan pembangunan taman-taman
dan danau-danau buatan, dan menggusur lapangan-lapangan terbuka menjadi mal-mal dan perkantoran? Agenda
keempat tidak kalah pentingnya, walau bersifat penunjang dan tidak langsung, yaitu penciptaan lapangan kerja dan
jaring sosial-budaya, sebagai antisipasi terhadap urbanisasi dan dislokasi budaya yang ditimbulkannya. Siapkah kita
melaksanakan agenda-agenda tersebut? Sepanjang hati-nurani yang memandu, dan bukan hawa nafsu keserakahan,
insya Allah di bawah bimbingan-Nya kita dapat melaksanakan agenda-agenda yang tidak ringan itu. Wal-Lahu a`lam bi
al-shawab.-- Dosen Fakultas Agama Islam UMS

Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Columnus by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP